“Urbanisasi dan Surat untuk Ibu Kota”


Surat Gugatan untuk Ibu Kota.

   Bak memasang nomor togel. Tawaran ke ibu kota sangat menggiurkan bagi pengangguran dan mahasiswa yang ingin magang seperti saya. Yang hari ke hari merumus jalan menuju ke ibu kota. Dengan harapan untung besar sampai di sana. Begitulah tawaran ibu kota, yang sebentar lagi mau tenggelam karena beban dosa dan masalah demi masalah yang ditanggungnya.

   Pagi ini koran harian “Padang Ekspres” menampar pintu rumah kami, memang setiap hari koran hari “Padang Ekspres”, selalu menampar pintu Redaksi Suara kampus. Tapi kali ini datang dengan isu utama yang menarik, pada halaman tiga, hari Minggu 16 September 2018, membahas “Isu Urbanisasi jadi Prioritas”. Betapa menggiurkan berita urbanisasi jadi prioritas ini bagi kalangan orang pedesaan di sekeliling bukit barisan seperti kami, untuk datang ke ibu kota. Tapi sayangnya berita ini sepertinya belum seutuhnya sampai di gendang telinga pengangguran dan intelektual yang ada di desa, yang hari ke hari hanya merajut harapan demi harapan untuk hidup lebih baik.

   Entah apa pasal, saya jadi tergerak untuk membahasnya. Mungkin karena saya gagal untuk berangkat magang ke ibu kota, dikarenakan sistem kampus yang bertele-tele telah mengubur mimpi saya untuk menapakkan kaki menuju ibu kota. Tapi bukan hanya itu permasalahan yang membuat saya membahas permasalahan Urbanisasi ini, melaikan faktor kaki saya yang merasa terpijak duri di tanah bapak proklamator ini, ketika semua anak kemenakannya lebih tertarik menapakkan diri di ibu kota tercinta yang sebentar lagi karam itu.

   Apakah potensi lokal tidak bisa dipertahankan lagi?, sehari sebelum itu saya sempat mengunjungi sebuah komunitas di daerah Kota Solok, Gubuak Kopi namanya, hampir setengah umur hari, saya habiskan berbincang - bincang dengan salah seorang penggiat komunitas Gubuak Kopi, banyak sedikitnya membahas masalah kegiatan - kegiatan yang mereka selenggarakan di bulan depan. Program yang mereka tawarkan bukanlah Urbanisasi, melainkan bagai mana mempertahankan kearifan lokal dan potensi  lokal yang ada di daerah. Pertimbangan demi pertimbang melintas begitu macet di otak saya, sampai-sampai hampir bertabrakan.

   Setelah saya pikirkan, urung niat saya untuk berangkat ke ibu kota. Lebih baik saya mengadu peruntungan di tanah kelahiran saya sendiri. Dan memunculkan sebuah pembahasan untuk apa saya ke sana?, Urbanisasi Pendidikan!, sepertinya terlalu berlebihan untuk melakukan itu. Apa salahnya hidup di kampung sendiri, belajar dan membangun daerah sendiri.
Seperti yang di bahas di koran harian “Padang Ekspres”, bahwasanya Isu Urbanisasi jadi Prioritas. Apakah tidak ada isu lain. Hampir pada dasarnya niat orang - orang di daerah seperti saya ingin merantau ke ibu kota, tanpa membawa bekal. Memang pepatah Minang Kabau mengatakan "Indak kayu, janjang di kapiang" atau "Ada paha ada kaki, ada usaha, ada rezeki”. Memang betul, akan tetapi dengan pertimbangan dan pembahasan atau cerita yang telah sudah, ke ibu kota itu tidak bisa dengan hati yang keras saja.

   Sepertinya surat ini akan saya layangkan ke ibu kota, kepada segenap wakil kami yang ada disana, yang di butuhkan bukan Urbanisasi untuk menghadapi tantangan ekonomi digital. Akan tetapi beberapa agenda - agenda atau lokakarya tentang bagai mana menjaga dan mengelola apa yang telah ada, bukan hanya urbanisasi saja. ibu kota telah lelah dengan segala permasalahannya. Lebih baik kita di desa, membangun dan menjaga kearifan lokal untuk kita semua.

Komentar

Postingan Populer